Kamis, 29 Oktober 2015

Jangan Eksploitasi si Miskin

Mengapa banyak orang bangga menekan harga pada pedagang kecil?

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi Pak Ujang (65 tahun), pemilik kios ikan kecil di suatu kota. Saya sering ke sana. Kiosnya sangat sederhana, berupa papan kecil seluas 2,5 x 4 meter.
Beliau sudah lebih dari 30 tahun berjualan ikan di sana.
Di sudut kanan toko terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Lantai yang memiliki tinggi 1 m merupakan tempat tinggal Pak Ujang dan istri.

Tepat saat saya berkunjung, muncullah seorang pembeli yang menggunakan mobil mewah brand Jerman. Awalnya Pak Ujang menjual makanan ikan seharga Rp 5.000,- satu bungkus. Si pembelipun berusaha keras menawar. Akhirnya Pak Ujang sepakat menjual Rp 9.000,- per dua bungkus.
Si Pembeli melihat ikan koi tiga warna berukuran sekitar 30 cm. Pak Ujang menjual dengan harga Rp. 40.000, per ekor. Terjadilah tawar menawar. Si pembeli terus memaksa ingin memiliki ikan tersebut dengan harga Rp 25.000,. Katanya, ikan begitu tidak layak dihargai Rp 40.000, . Pak Ujang terlihat sangat keberatan menjual ikan tersebut dibawah Rp 35.000,-. Namun, saya sendiri menyaksikan betapa kerasnya si pembeli menawar dan memaksa. Akhirnya Pak Ujang pun luluh dan menjual empat ekor dengan harga yang diinginkan pembeli. "Ikan ini sudah hampir 1 bulan tidak laku," jawabnya setelah saya menanyakan alasannya menjual.
Si Pembeli kembali membeli tanaman air yang harusnya berharga Rp 5.000,- per buah. Begitu gigihnya mendapat 4 buah dengan uang Rp 10.000,-, sampai sampai Si Pembeli memasukkan sendiri dua tanaman air tambahan ke plastik.

Tidak berhenti sampai di sana, saat hendak membayar, dia pembeli kembali meminta dua ekor ikan kecil seharga Rp 5.000,- per ekor untuk mainan anaknya. Dan Pak Ujang akhirnya memberikan.
Saya merenung. Banyak orang sering sekali berhemat setiap keping rupiah dari si miskin. Mereka sering mengganggap harga barang dari seorang pedagang kecil atau pasar tradisional tidak pantas dan menawar serta puas karena bisa berhemat Rp. 500,-
Kemudian mereka berjalan ke mall dan tidak bertanya kepantasan dari harga secangkir kopi Rp 60.000, atau semangkok bakso Rp. 40.000,- . Mereka bahkan membeli dengan bangga dan malu bila menawar. Mereka menawar dari tukang becak yang harus mengayuh sepeda dengan berat, tetapi tidak pernah memprotes argo taksi yang bergerak tak terkendali. Setelah itu, mereka akan bicara tentang pengentasan kemiskinan. Mereka salahkan pemerintah atas data-data kemiskinan yang tidak pernah turun.

Padahal di balik itu, mereka mengeksploitasi Si Miskin. Mereka berusaha berhemat setiap keping rupiah dari Si Miskin yang bekerja lebih keras, lebih berat, dan panas untuk memberi makan keluarganya. Namun, mereka menghabiskan uang yang jauh lebih banyak di mall tanpa menanyakan kepantasannya.

Itulah mereka.....Semoga kita tidak tergolong orang2 yang demikian.... ..selamat beraktivitas sahabat...jangan ragu untuk meminta kembalian ke warung modern, dan jangan ragu untuk melebihkan ke warung yg sederhana.... keep husnudzon...keep istiqomah...jabat erat - Masherroe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar